Minggu, 12 Desember 2010

ASAL MULA KERAJAAN GALUH

Konon kabar kata Galuh berasal
dari kata Galeuh atau inti.
Menurut Yoseph (2005), dari
pengertian tersebut, timbul
pergeseran kata menjadi hati,
sebagai inti dari manusia. Dalam
pengertian lain, kata Galeuh
disejajarkan dengan Galih, kata
halus dari beuli (beli), namun
menurut Purbacaraka
mengartikan Galuh sebagai
permata. Lain halnya menurut
Van Deur Mulen. Galuh sama
artinya dengan yang dipahami
dalam bahasa tagalog, yakni ‘air’.
Galuh berasal kata dari Saka lo
atau Sagaluh (hal. 96).
Leluhur Raja-raja Galuh
Kisah Kendan dan Galuh
diriwayatkan dalam Naskah
Carita Parahyangan dan Naskah
Wangsakerta, Jika saja dikaji
lebih jauh dan teliti, Carita
Parahyangan menjelaskan
sejarah yang sebelumya gelap,
seperti kisah Sanjaya, yang
prasastinya ditemukan di Canggal
Carita Parahyangan memiliki
uraian yang hampir sama dengan
Naskah-naskah Wangsakerta,
sehingga para ahli sejarah
menganggap Naskah
Wangsakerta berasal dari
sumber yang sama, yakni
Pararatwan Parahyangan. Namun
karena rentan waktu
penyusunannya dianggap terlalu
jauh dari masanya, yakni pada
abad ke 16, maka Carita
Parahyangan dianggap data
sekunder.
Sejarah ditatar sunda yang
disampaikan secara lisan lebih
hidup dan beragam. Sayangnya
masyarakat tradisional masih
banyak yang menganggap tabu
untuk menceritakan sejarah
karuhunnya dengan alasan
“pamali” – “teu wasa”. Mungkin
dahulu ditujukan agar tidak
menyinggung perasaan yang
kebetulan karuhunnya
terceritakan negatif, atau
semacam takut membuka aib
atas cerita yang dianggapnya
tidak lumrah. Dalam masa
selanjutnya istilah tabu bukan
lagi berasal dari teu wasa,
melainkan takut dicemoohkan
sebagai “mamake payung butut”,
masalah inilah yang ikut
menghambat tutur tinular
terhadap perjalanan dimasa lalu.
Kisah karuhun Galuh di dalam
kesejarahannya yang pernah
menjadi rahasia umum adalah
Mandiminyak dan Tamperan.
Cerita Mandiminyak dianggap
tidak lazim karena berhubungan
dengan Rabbabu, istri
Sempakwaja, kakaknya, hingga
melahirkan Bratasenawa.
Demikian pula cerita Tamperan
yang dianggap aib setelah
berhubungan dengan Dewi
Pangrenyep, istri Permana
Dikusumah. Tetapi hukum dan
realitas penyusunan sejarah
modern memerlukan data formal.
Mungkin alasan ini pula yang
berakibat urang sunda tidak
memiliki data sejarah, sehingga
dianggapnya kurang bersejarah.
Carita Parahyangan menjelaskan
ranji Kendan dan Galuh. Sang
Resiguru berputra Rajaputra,
Rajaputra beranak Sang
Kandiawan dan Sang Kandiawati.
Sang Kandiawan menamakan
dirinya Rahyangta Dewaraja.
Waktu ia menjadi rajaresi ia
menamakan dirinya Rahyang ta
di Medang Jati, yaitu Sang
Layuwatang. Kemudian Sang
Kandiawan berputra lima orang,
yaitu Sang Mangukuhan, Sang
Karungkalah, sang Katung
maralah, Sang Sandanggreba dan
Wretikandayun. Namun yang
ditunjuk menggantikan Sang
Kandiawan adalah
Wretikandayun.
Sang Manikmaya pertama kali
menjalankan kegiatan
pemerintahannya didaerah
Kendan, ia sekaligus bertindak
menjadi Rajaresi. Sepeninggalnya
ia digantikan oleh Sang Suralim,
putranya yang memerintah di
Kendan. Sang Suralim sebelumnya
menjadi senapati di
Tarumanagara, maka ia lebih
dikenal sebagai Panglima perang
yang tangguh. Dari sejarah
Suralim tersebut, masalah
kegiatan agama nampaknya
tidak merupakan faktor yang
sangat penting, sehingga merasa
tidak perlu untuk memindahkan
pusat pemerintahannya.
Sang Suralim memiliki putra dan
putri, yakni Kandiawan dan
Kandiawati. Sang Kandiawan
kemudian di jadikan penguasa di
Medang Jati. Didalam Carita
Parhyangan ia disebut juga
Rahiyangan di Medang Jati, ia
pun bergelar Rajaresi Dewaraja.
Ketika menerima warisan tahta
dari ayahnya ia tidak lantas
pindah ke Kendan, melainkan
tetap menjalan pemerintahannya
di Medang Jati.
Menurut buku penelusuran masa
silam sejarah Jawa Barat (1983 –
1984), alasan Kandiawan
menetap di Medang Jati sangat
terkait dengan keagamaan. Di
Kendan waktu itu sudah mulai
banyak para penyembah Syiwa,
sedangkan ia penyembah Wisnu.
Sang Kandiawan memiliki 5 orang
putra, yakni Mangukuhan,
Karungkalah, Katungmaralah,
Sandangreba dan Wretikandayun.
Suatu hal yang masih sulit dicari
alasannya adalah mengapa Sang
Kandiawan mewariskan tahtanya
kepada Wretikandayun, putra
bungsunya. Alasan ini menurut
carita Parahyangan disebabkan
berhasil menombak kebowulan,
mungkin maksud penulis Carita
Parahyangan menceritakan
adanya sayembara diantara lima
bersaudara tersebut. Namun
mengingat penulis Carita
Parahyangan sangat irit
mengisahkan suatu masalah,
maka ia ditulis demikian.
Hal yang paling mendekati
terhadap masal ini adalah
kemungkinan adanya alasan yang
terkait dengan masalah
keagamaan. Pemegang
kekuasaan dalam tradisi kendan
biasanya dipegang oleh seorang
rajaresi. Dari kelima palaputra
Sang Kandiawan yang memenuhi
syarat sebagai raja resi
hanyalah Wretikandayun.
Tentang Keturunan Kandiawan
yang diuraikan dalam Cerita
Parahyangan,diterjemaahkan
oleh Atja (1968) dengan
menggunakan bahasa sunda
‘Kiwari’, sebagai berikut :
Enya kieu Carita Parahiyangan
teh.
Sang Resi Guru boga anak
Rajaputra. Rajaputra boga anak
Sang Kandiawan jeung Sang
Kandiawati, duaan adi lanceuk.
Sang Kandiawan teh nyebut
dirina Rahiyangta Dewaradja.
Basa ngajalankeun kahirupan
sacara rajaresi, ngalandi dirina
Rahiangta di Medangjati, oge
katelah Sang Lajuwatang, nya
mantenna nu nyieun Sanghiang
Watangageung.
Sanggeusna rarabi, nya lahir
anak-anakna limaan, mangrupa
titisan Sang Kusika, Sang Garga,
Sang Mestri, Sang Purusa, Sang
Puntandjala, nya eta: Sang
Mangukuhan, Sang Karungkalah,
sang Katungmaralah, Sang
Sandanggreba jeung Sang
Wretikandayun.
Rahiyangan di Medangjati
lawasna ngadeg ratu limawelas
taun. Diganti ku Sang
Wretikandayun di Galuh, bari
migarwa Pwah ngatak
Mangalengale.
Ari Sang Mangukuhan jadi tukang
ngahuma, Sang Karungkalah jadi
tukang moro, Sang
Katungmaralah jadi tukang
nyadap sarta Sang
Sandanggreba jadi padagang.
Nya ku Sang Wreti Kandayun
Sang Mangukuhan dijungjung jadi
Rahiangtung Kulikuli, Sang
Karungkalah jadi Rahiangtang
Surawulan, Sang Katungmaralah
jadi Rahiyangtang Pelesawi, Sang
Sandanggreba jadi Rahiangtang
Rawunglangit.
Sabada Sang Wretikendayun
ngadeg ratu di Galuh, nya terus
ngajalankeun kahirupan sacara
rajaresi sarta ngalandi dirina jadi
Rahiangta di Menir. Dina waktu
bumen-bumen, harita teh nya
nyusun Purbatisti.
Pembentukan Galuh
Menurut Van Deur Meulen, Galuh
berasal kata dari Saka Loh,
hanya saja lidah orang Banyumas
menyebutnya Sagaluh. Demikian
pula penggunaan kata untuk
suatu daerah, yang banyak
menggunakan nama Galuh adalah
para penduduk Jawa Tengah
bagian barat, seperti Galuh Timur
(Bumiayu), Galuh (Purbolinggo),
Sirah Galuh (Cilacap), Sagaluh dan
Sungai Begaluh (Leksono),
Samigaluh (Purworejo), dan
Sagaluh (Purwodadi). [Ibid]
Didalam Babad Banyumas,
dijelaskan pula, sebagai berikut :
Babad Banyumas ora bisa dipisah
karo sejarah Kerajaan Galuh
Purba (dibangun adoh sedurung
abad 5 Masehi). Kerajaan kiye
dibangun nang sekitar Gunung
Slamet ning bar kuwe pusat
kerajaane pindah maring Garut -
Kawali (abad 6-7 Masehi)
mbentuk utawa ngelanjutaken
pemerentahan nang Kerajaan
Galuh Kawali. Kerajaan Galuh
Purba kuwe dibangun pendatang
sekang Kutai, Kalimantan ning
sedurung agama Hindu melebu
nang Kutai.
Keturunan-keturunan Kerajaan
Galuh Purba kiye nerusna
pemerentahan Kerajaan nang
Garut - Kawali (Ciamis) sing wis
duwe budaya Sunda, terus
sebagian campur darah karo
keturunan Kerajaan Kalingga
(Jawa Tengah). Campur darah
(perkawinan) kuwe juga
berlanjut dong masa Kerajaan
Galuh Kawali dadi Kerajaan Galuh
Pajajaran sebab akeh
perkawinan antara kerabat
Keraton Galuh Pajajaran karo
kerabat Keraton Majapahit
(Jawa), lha keturunan
campurane kuwe sing mbentuk
Banyumas.
Babad Banyumas juga ora bisa
dipisah karo sejarah Kerajaan
Galuh Kawali sing wilayah
kekuasaane ngeliputi lewih
separo wilayah Jawa Tengah siki
(kemungkinan tekan Kedu lan
Purwodadi), dadi termasuk juga
wilayah Banyumasan.
Babad Banyumas juga ora bisa
dipisah sekang pribadi Raden
Joko Kahiman (putra Raden
Banyak Cotro, putu Raden
Baribin), sing duwe sifat utawa
watek-watek satria.
Galuh dalam versi Banyumasan
mungkin tidak mengenal
eksistensi Karang Kamulyan -
Ciamis, sebagai lokasi Galuh pasca
Kendan, sehingga jamannya
langsung melompat ke masa
Kawali. Jika saja versi
Banyumas digunakan sebagai
acuan pokok maka sejarah
Sunda Terusbawa menjadi hilang
dan tidak memiliki hubungan
dengan Pajajaran. Dalam hal ini
kiranya perlu
mempertimbangkan keberadaan
Naskah Pararathon Parahyangan
dengan Carita Parahyangan,
kedua naskah itu lebih fokus
membincangkan masalah Galuh
(Parahyangan),
sehingga runtutan sejarah yang
sudah ditemukan dapat dikaji
lebih jauh.
Galuh versi Banyumasan
tentunya dapat menunjukan
keberadaan tungtung Sunda
sebagaimana yang ditulis
Bujangga Manik, pada abad
ke-16, dan lalampahan Banyak
Catra di Kerajaan Pasir Luhur.
Galuh dimasa lalu digunakan
untuk nama tiga kerajaan yang
ada di daerah Jawa Bagian
Barat. Pertama Galuh Purba
(Galuh) berpusat di Ciamis. Kedua
Galuh Utara (Galuh Baru – Galuh
Lor – Galuh luar) berpusat di
daerah Dieng. Ketiga Galuh yang
berpusat di Denuh (Tasikmalaya).
Dalam Carita Parahyangan,
adanya penggantian nama
Kendan menjadi Galuh bukan
sekedar mengganti nama
ditempat dilokasi yang sama.
Seperti Sunda Kalapa menjadi
Jakarta, melainkan memang ada
perpindahan lokasi kegiatan
pemerintahan secara fisik. Dari
wilayah Kendan (Cicalengka) ke
Karang kamulyan. Alasan ini
tentu terkait dengan efektifitas
pelaksanaan pemerintahan dan
kegiatan keagamaan.
Sebagaimana diuraikan diatas,
Manikmaya memperoleh wilayah
Kendan (cikal bakal Galuh)
berikut tentara dan
penduduknya dari
Tarumanagara, bahkan
Tarumanagara melindungi Kendan
dari gangguan Negara lain.
Namun pada tahun 670 M,
Wretikandayun menyatakan
Galuh melepaskan diri dari Sunda,
kerajaan penerus Tarumanagara.
Kondisi Tarumanagara sejak
masa Raja Sudawarman Raja
ke-9) memang sudah kurang
wibawanya dimata raja-raja
daerah. Masalah ini terus
berlanjut hingga para
penggantinya. Setelah
Linggawarman (Raja ke-12)
meninggal dan tida memiliki putra
Mahkota, pemerintahan
diserahkan kepada menantunya,
yakni Tarusbawa, raja
Sundapura. Kerajaan bawahan
Tarumanagara.
Tarusbawa bercita-cita
mengangkat kembali kejayaan
Tarumanagara seperti jaman
Purnawarman (Raja ke-3) yang
bersemayam di Sundapura.
Keinginannya tersebut
diwujudkan dengan cara ia
memindahkan dan mengubah
Tarumanagara menjadi Sunda,
namun ia tidak memperhitungkan
akibatnya terhadap negara
bawahannya, yang merasa tidak
lagi memiliki ikatan kesejarahan.
Pada tahun 670 M, berakhirlah
kisah Tarumanagara sebagai
kerajaan yang menguasai seluruh
Jawa Bagian Barat, namun
muncul dua kerajaan kembar.
Disebelah barat Citarum menjadi
kerajaan Sunda, sedangkan
disebelah timur Citarum berdiri
kerajaan Galuh.
Dilihat dari masa periodenya,
Yoseph (2005) membagi menjadi
tiga periode, yakni Galuh dapat
dibagi menjadi tiga jaman.
Pertama Galuh jaman
pemerintahan Sempakwaja –
Purbasora. Kedua Galuh jaman
pemerintahan Mandiminyak –
Sena. Ketiga Galuh pada masa
pemerintahan Rahiyang Kidul
yang selalu terancam oleh kedua
pemerintahan diatas.